Review Marriage of Convenience By Shanti

04-50-14-25955790._uy2298_ss2298_.jpg

 

Judul : Marriage of Convenience

Penulis : Shanti

Penerbit : Elex Media Komputindo

ISBN : 978-602-02-6909-2

Tebal : 320 halaman


picsart_08-28-09.43.08.png


picsart_09-22-05.11.39.png


 

Termasuk ke dalam seri Le Mariage, jujur baru pertama kali ini saya baca lini tersebut. Kalau harus menggambarkan dalam satu kata, novel ini terbilang asik. Mematok Krishna Satya Sangkala juga Anindita Sahaja sebagai dua karakter utama, cerita ini mengalir dengan sangat santai melalui dua pola pikir mereka. Yes, novel ini mengandung dua POV, dari sisi Khrisna yang terus bergantian dengan Dita di setiap awal bab baru. Tidak ribet, apalagi buat saya, pemilihan sudut pandang ini malah kece. Karena, saya jadi bisa menyelami pemikiran kedua pemeran dengan porsi sama besar. Walau jika kudu milih, bagian Krishna lebih nendang. Blak-blakan? Entahlah, tapi sepertinya pemikiran pria emang macem itu sih.

 

Some believe in destiny, and some believe in fate. I believe that happiness is something we create ….

 

Katanya, cinta ternyata punya masa kadaluwarsa loh. Walau dimasukan dalam satu wadah yang sama, tidak ada jaminan cinta itu bisa dinikmati sampai batas waktu yang sama pula. Udah mecem tahu bulet aja ini cinta. Untungnya khusus buat Krishna, sepertinya justru berformalin sehingga awetnya tahan banting, tahan panas nan tahan godaan. Sembilan tahun mempertahankan perasaan–yang dalam hal ini mungkin dia tidak sengaja–itu luar biasah bro! Yah, walau dia sempat hinggap sana-sini macem kumbang, toh dia ingat jalan buat kembali pulang. Niat cuti untuk menghadiri acara pernikahan sang adik, Arimbi. Dia meninggalkan Bima, teman sejiwanya plus BBC plus London. Yeah, he is totally has husband material right?

Kembali ke tanah air, siapa sangka dia langsung ketemu sama ‘Ijah’?
Kok? Siapa Ijah ini? Main kemana dulu Krishna ini sampai bisa ketemu sama Mbak Ijah? Jangan bilang dia lapar lalu melipir ke tukang sayur buat ketemu mbak-mbak rumpi. No. No. No. Ijah adalah seorang sekretaris, cakep dan lagi bingung.
Bersetting di taman suropati, sore itu dunia membuktikan kalau daun kelor tetaplah lebih lebar. Krishna bertemu perempuan yang selama 9 tahun mengendap macem debu di hatinya. Ijah alias Dita alias bahan kegalauan Krishna waktu SMA.

 

Setidaknya pertemuan ini merupakan awal dari segalanya. Kalau baca blurb-nya mungkin sudah ada gambaran yah cerita ini bakal seperti apa. Seseorang yang terancam jadi single mother bertemu dengan seseorang yang diprediksi tidak bisa menyandang profesi paling hero sejagat, we called him ayah. Maka, tidak heran ada kalimat ini dalam bukunya.

 

“Ini bener-bener lamaran paling nggak romantis sepanjang masa. Mana ada orang menikah, alasannya adalah simbiosis mutualisme. “–(hlm. 80)

 

Ada gambaran, siapa mereka buat masing-masing di hari berikutnya? Yaps! Kadang menikah tidak harus selalu dilatari cinta. Karena bagi sebagian orang, menikah bisa jadi sebuah kebutuhan mendesak. Entahlah.

Actually, dalam novel debutnya Kak Shanti ini saya benar-benar dibuat sadar kalau dunia itu tidak selalu selebar jidat. Contohnya, Arimbi adik bungsunya Krishna yang ternyata teman akrabnya Dita or Ijah. Saling terkait.

Sudah begitu, baca novel ini ternyata berdampak pada timbulnya keinginan buat ikutan nikah. Duh, duh, duh. Bagi kamu yang belum punya calon mungkin bakal envy macem saya. Secara, sosok Krishna yang hangat, lucu, sangat sangat pengertian, sometimes romantic atau dia emang selalu romantis sih. Bikin semua perempuan–kalaupun bukan semua berarti saya doang yeh keknya–klepek klepek lah. Please sisakan untukku satu yang kayak Krishna, God.

Lalu, apa cerita ini hanya berupa keseruan hidup berumah tangga? Big No. Sesuatu hal terjadi karena sebuah alasan. Begitupun kisah Krishna-Dita. Menikah berlandaskan asas simbiosis mutualisme, bagaimana jika salah satunya malah merasa merugikan yang lain?

 

“Perempuan itu, hatinya di telinga apa-apa harus diomongkan.”–(hlm. 282)

 

Ada soal masa lalu, banyak cemburu, dan saat salah satunya mulai meragu.

 

“Sinting lo, Na! Lo kayak orang yang nggak kenal Ijah aja sih. Eh, bego! Ijah itu cinta sama lo. Na! Read my lips, hear my voice. CINTA SAMA LO! … “–(hlm. 235)

 

The power of family-nya di sini kental banget. Saya suka, kebersamaan yang rutin keluarga Krishna lakukan, membuat Dita yang emang sudah sebatang kara pun merasa sungguh nyaman.

Karakter favorit, saya jatuhkan pada Bima, teman Krishna yang demi apa, kalau punya teman kayak dia, tidak bakal kesepian lah dijamin. Hidupmu akan lempeng asal tidak ada belokan tentunya.

Di luar alur yang ngalir, cara bercerita ala Kak Shanti yang ‘aku padamu banged’, sumpah naksir ke tulisannya. Sebenarnya saya agak kurang puas sama penyelesaian masalah Adit yang ‘ah, gampang banget tuh cowok keok’ padahal kan dia biang keringet–eh biang onarnya setidaknya saya berharap dia punya porsi lebih walau tidak isi dua yah.

Lalu, manusia selalu punya cela, begitupun Krishna ataupun Dita yang tidak sempurna. Kadang mereka salah, tingkahnya kerap bikin merasa ‘kok bisa gini sih dia berpikirnya?’ atau ‘kok bisa sih dia sekekanakan itu, di usia yang udah segitu?’

Ah, terlepas dari poin tersebut, saya sangat merekomendasikan buku ini terutama buat penikmat romance. Karena kita bisa jadi es krim mendadak atau kalau terlalu feminis setidaknya kamu bisa jadi lilin kalau baca ini novel–meleleh.

 Empat cinta dari saya buat Marriage of Convenience, dan kalau ada karya baru dari Kak Shanti saya pasti bakal baca lagi.

 

picsart_03-30-06.01.33.jpg

Leave a comment